Ketika baru saja Nasruddin berteriak, "Allahu Akbar!Allahu Akbar!," dia terburu-buru turun dari menara dan berlari ke sana kemari. Tentu saja orang-orang yang sudah bersiap-siap melaksanakan shalat terbengong-bengong. Salah seorang dari mereka bertanya, "Hai Mullah, mengapa engkau berlari-lari sebelum menyelesaikan azanmu?"
Aku mau tahu, apakah suaraku terdengar ke seluruh penjuru," jawab Nasruddin.
Cerita naif di atas makin mengukuhkan posisi puncak Nasraddin di jagat orang-orang "tolol". Ketololan memang bisa terjadi pada semua orang dan dimana saja. Bisa di masjid atau di pasar, di tempat tidur, di kolam renang, di kuburan, dan di lain-lain tempat. Tidak peduli pelaku ketololan itu tokoh terhormat seperti tokoh agama atau pejabat negara, guru atau tentara, anak-anak atau orang dewasa, pria atau wanita. Lalu, apa yang bisa dipetik dari kisah konyol di atas?
Azan adalah panggilan terhormat bagi kaum Muslim untuk mengerjakan shalat lima waktu. Azan adalah undangan Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk beraudensi dengan-Nya. Orang-orang Islam yang mempunyai kehormatan diri akan sangat gembira jika diajak mikraj ruhani ke hadirat Allah lewat shalat. Sebab,shalat adalah lambang kecintaan dan penghormatan diri Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, perintah shalat diterima langsung dari Allah oleh Nabi Muhammad Saw. di Sidratul Muntaha saat beliau mi'raj, tidak melalui Malaikat Jibril a.s.
Nah, Nasruddin merasa dialah "corong" Allah. Dialah "mulut" Allah yang menyampaikan undangan kehormatan. Padahal, tidak mungkin seorang raja mengundang orang-orang yang dihormatinya lewat mulut seorang preman jalanan. Tentu, yang dipilih adalah orang-orang yang masuk kualifikasi baik, terhormat, dan bersih.
Namun, kadang walaupun baru sedikit saja kita menyeru manusia ke jalan Allah atau kebajikan, kita sudah merasa pantas dibicarakan laksana nabi. Kita pasang telinga di seluruh penjuru mata angin untuk mengetahui sejauh mana seruan kita didengar orang. Belum sempurna benar seruan kita kumandangkan, kita sudah ingin tahu apakah "suara" kita terdengar di mana-mana. Oleh karena itu, kita cepat-cepat "turun dari menara". Kita biarkan jamaah yang sudah ada di dalam masjid terbengong-bengong melihat tingkah kita. Dan, kita tidak peduli. Kita tetap ingin tahu sampai sejauh mana orang mendengar seruan kita.
Sesunguhnya "turun dari menara" menunjukkan ketidakikhlasan di samping juga ketergesaan. Dari posisi tinggi, di atas menara sambil meneriakkan azan, kita turun berlari-lari dan mencari tahu apakah banyak orang yang mendengar teriakan kita. Nasruddin menyindir kita, bahwa kalau azan tidak perlu mencari tahu apakah banyak yang dengar atau tidak. Azan saja, hasilnya biarkan angin membawa suara kita ke mana ia mau. Tidak peduli ada yang mendengar atau tidak.
No comments:
Post a Comment