Pengelola sekolah dituntut harus mampu memberdayakan para pemangku kepentingan (stakeholder) terutama dalam hal pengembangan sekolah, seperti pengadaan sarana dan prasarana. Memajukan dunia pendidikan tidak hanya tugas pemerintah, sekolah diharapkan juga mampu menjalin ikatan dengan para stakeholder.
Misalnya, jika ada sebuah sekolah yang membutuhkan pembangunan sebuah pagar, namun belum mendapatkan dana dari pemerintah, atau pemerintah belum sempat membangun, karena banyak persoalan pendidikan.
Dengan demikian agar kondisi sekolah bisa lebih nyaman, maka sekolah bisa mengambil inisiatif membangun dengan minta bantuan dari pihak ketiga.
Kepala sekolah bisa mengumpulkan sumber daya luar (outsourching). Misalnya orang tua sepakat untuk membangun, sepanjang uang yang dikumpulkan hasil mufakat itu jujur digunakan untuk membangun.
Stakeholder pendidikan adalah sumber daya luar di luar pemerintah yang berkepentingan membangun dunia pendidikan. Karena jika hanya berharap dari pemerintah, semuanya itu tidak akan terpenuhi.
Pemerintah punya persoalan pendidikan yang begitu banyak, misalnya sekolah yang harus diperbaiki terlalu banyak dan begitu juga yang tidak terjangkau. Untuk itu kepala sekolah harus berimprovisasi memberdayakan sumber dari luar agar pendidikan lebih maju.
Selain orang tua siswa, sekolah juga bisa menjalin hubungan dengan pihak BUMN, dan ini merupakan salah satu tugas komite sekolah.
Komite sekolah lah yang membantu kepala sekolah untuk memberdayakan outsourching. Artinya kepala sekolah tidak bisa dibiarkan sendiri membuka hubungan keluar, ini harus dibantu oleh komite sekolah.
Jika sekolah dapat bantuan dari luar, maka dinas pendidikan juga harus mengontrol bagaimana penggunaannya di sekolah. Ini tentunya dimaksudkan agar semua berjalan dengan lancar, sebab semua pihak memiliki peran untuk memajukan pendidikan.
Definisi dari stakeholder adalah pemegang atau pemangku kepentingan. Orang per orang atau kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan apa pun terhadap sebuah obyek disebut stakeholder. Pendidikan adalah sebuah sistem yang mendukung murid mencapai tujuan-tujuannya melalui pengajaran dan penanaman elemen afektif, kognitif dan psikomotorik secara terencana dalam jangka panjang.
Walaupun banyak ragam, stakeholder pendidikan dibagi dalam 3 kategori utama, yaitu sekolah, pemerintah dan masyarakat. Sekolah, termasuk di dalamnya adalah para guru, kepala sekolah, murid dan tata usaha sekolah. Pemerintah diwakili oleh para pengawas, penilik, dinas pendidikan, walikota, sampai menteri pendidikan nasional. Sedangkan masyarakat yang berkepentingan dengan pendidikan adalah orang tua murid, pengamat dan ahli pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan atau badan yang membutuhkan tenaga terdidik (DUDI), toko buku, kontraktor pembangunan sekolah, penerbit buku, penyedia alat pendidikan, dan lain-lain.
Tanpa melibatkan para pemegang kepentingan ini secara utuh, niscaya dunia pendidikan tidak akan berjalan dengan baik. Mengapa? Di dalam dunia pendidikan ada hal yang disebut dengan aksi dan refleksi. Seseorang akan melakukan aksi setelah mempelajari dulu apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya dalam merespons rangsangan yang sama atau biasa disebut coping behavior. Untuk menanamkan aspek afektif seperti akhlak mulia, seseorang perlu meniru atau mencontoh ketauladanan lingkungan di sekitarnya. Dunia sekolah tidak akan mampu mensterilkan murid dari perilaku masyarakat di sekelilingnya, untuk itu sekolah memerlukan dukungan masyarakat dalam memberikan ketauladanan dalam mengajarkan akhlak mulia. Begitu juga dengan aspek psikomotorik. Hanya melalui latihan-latihan konkret di lingkungan sekitar yang akan membuat murid belajar untuk melatih kemampuan psikomotriknya sehingga mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Tanpa dukungan masyarakat, murid akan terisolasi dalam dunia teori tanpa mampu melakukan tindakan konkret. Sementara itu, masyarakat mengharapkan sekolah lebih menonjol dalam mengembangkan aspek kognitif. Dunia pendidikan formal memang mengutamakan transfer of science and knowledge, yang diharapkan mampu mendorong murid mengembangkan paradigma modernitas dalam kehidupannya kelak.
Pemerintah, sebagai pihak yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi warganya tidak dapat meninggalkan peran dan fungsi masyarakat dalam menuntaskan pendidikan. Pendidikan tidak melulu mengurusi sarana dan prasarana. Tidak hanya sekedar sebuah mata anggaran yang statis. Pendidikan adalah sebuah dinamika proses yang memerlukan kecerdasan untuk menjadikannya wahana yang bermanfaat bagi daerah. Selama ini masih banyak tokoh pemerintahan yang menempatkan pendidikan sebagai beban anggaran, bukan investasi masa depan. Padahal jika dikaji lebih mendalam, hanya manusia berpendidikan lah yang akan mengantarkan bangsa ini ke masa yang lebih baik di masa mendatang. Untuk itu, diperlukan kearifan untuk menggandeng lebih banyak potensi di masyarakat dalam mewujudkan sistem pendidikan yang berkualitas dan berhasilguna. Pendidikan yang steril tidak akan mampu menyerap keunggulan-keunggulan daerah, sehingga menempatkan pendidikan dalam sebuah menara gading. Untuk itu, diperlukan kerjasama yang kuat diantara ketiga elemen ini sehingga menghasilkan sinergi yang bermanfaat, terutama bagi para murid sebagai subyek pendidikan.
Mengingat kesadaran masyarakat yang sudah tinggi terhadap pentingnya pendidikan, banyak warga masyarakat yang secara sukarela bergabung dalam lembaga-lembaga berorientasi pendidikan yang dapat menjadi think-tank pemerintah dalam melaksanakan program-program pendidikan.
Selain masyarakat sukarela, banyak juga masyarakat yang mempunyai tujuan mengambil manfaat dari dunia pendidikan. Para penerbit buku, usaha kursus, penyedia alat pendidikan, dan pengusaha-pengusaha lainnya. Kelompok ini juga perlu difasilitasi, bahkan jika perlu dibangkitkan kesadarannya, bahwa selain sebagai lahan penghidupan, dunia pendidikan juga memerlukan kesetiakawanan yang dapat memperbaiki kualitas maupun kuantitas pelayanan pendidikan. Untuk itu, pendekatan usaha terhadap dunia pendidikan adalah bersifat mendukung, tidak hanya sekedar memeras dan menjadikannya layaknya komoditas.
Berbeda dengan dunia kesehatan yang lebih menekankan pada pendekatan kuratif yang singkat, di dalam dunia pendidikan, pendekatannya bersifat promotif. Hasil yang dicapai tidak didapatkan seketika, melainkan melalui proses panjang puluhan tahun. Tidak ada proses instan dalam pendidikan. Diperlukan ketekunan dan keprihatinan untuk mendapatkan hasil terbaik melalui kerja keras bertahun-tahun. Untuk itu, seluruh stakeholder pendidikan sudah harus mempunyai visi yang sama, platform yang sama, rasa hormat yang sama, sehingga kesadaran dalam menghadapi tantangan dan peluang selama bertahun-tahun ke depan dapat dilakukan secara kompak dan saling mendukung.
Pada akhirnya, sekolah sebagai ujung tombak pendidikan. Walaupun bukan satu-satunya pilihan, sekolah formal masih memegang peranan penting sampai saat ini. Masih banyak yang percaya bahwa sekolah merupakan satu-satunya jawaban yang benar dalam menyelesaikan seluruh urusan pendidikan. Namun setelah sekian lama, urusan pendidikan malah semakin rumit. Sekolah-sekolah belum betul-betul mampu mentransformasi sumber daya manusia kita menjadi aset unggul yang bernilai tambah. Malah semakin banyak tenaga terdidik yang menganggur. Tidak terjadi link and match antara keluaran sekolah dengan kebutuhan dunia kerja. Apakah artinya? Artinya sistem pendidikan di sekolah belum mampu menyerap kearifan lokal, keunggulan daerah, dan dinamika masyarakat sekitarnya. Tidak terjadi praksis antara satuan pendidikan dengan lingkungan sekitarnya. Sekolah cenderung arogan dengan teori-teori ilmiahnya. Mereka menjadi steril dan meremehkan proses aksi refleksi dengan para stakeholdernya.
Diperlukan sebuah sistem yang membuat sekolah mampu menyerap aspirasi stakeholdernya. Dunia usaha dan industri di daerah tidak perlu merekrut tenaga kerja dari luar daerah, jika dunia pendidikan kita mempunyai daya tarik bagi mereka. Penentuan jurusan di sebuah sekolah seharusnya menggunakan studi kelayakan yang terukur, sehingga pemetaan kebutuhan tenaga kerja dapat dijawab oleh penyiapan sekolah-sekolah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Tokoh-tokoh di sekolah seperti kepala sekolah dan guru perlu mendapatkan penyegaran mengenai revitalisasi fungsi pendidikan dalam dunia nyata kita sehari-hari. Demikian pula perguruan tinggi kita. Kampus tidak harus menjadi menara gading. Kebutuhan daerah terhadap lulusan perguruan tinggi semakin besar seiring semakin kompleksnya permasalahan di era otonomi ini. Perspektif komprehensif, visioner dan strategis yang dimiliki para sarjana secara pasti sudah menjadi kebutuhan daerah untuk mengelola aset-asetnya.
Lalu, dimana simpul yang mempertemukan kepentingan seluruh elemen para stakeholder ini? Simpulnya adalah pada hasil didik yang mampu membawa bangsa ini pada kondisi yang lebih baik di masa depan. Mereka adalah anak-anak kita sendiri. Mereka adalah satu-satunya harapan untuk menyelesaikan begitu banyak masalah ketika kita sudah uzur. Mereka adalah aset kita, dan kita sedang berinvestasi dengan mengandalkan niat baik kita terhadap anak-anak kita sendiri. Dengan demikian, siapapun yang mendholimi dunia pendidikan, artinya mereka dholim terhadap masa depan anak keturunan mereka sendiri.
Ketiga unsur stakeholder juga harus menjadi kaca benggala bagi para kompatriotnya. Masyarakat dapat menjadi umpan balik atau feedback bagi sekolah dan pemerintah. Sekolah dan perguruan tinggi dapat menjadi center of excellent, tauladan nilai dan sumber inspirasi bagi pemerintah dan masyarakat. Pemerintah, sebagai fasilitator, tinggal merealisasikannya untuk kemaslahatan bersama.
Bukan hal mudah memisahkan dunia pendidikan dari kelompok-kelompok vested interested yang terlanjur melekat. Dunia pendidikan saat ini sudah seperti kapal pesiar mewah yang dipenuhi kelompok kepentingan. Padahal di dalamnya ada subyek yang harus dilayani, yaitu para murid. Hanya saja nasib subyek pendidikan ini saat ini sudah menjadi obyek pendidikan. Godaan untuk memanipulasi dunia pendidikan begitu besarnya, mengingat anggarannya yang mencapai lebih dari 18% dari anggaran nasional, 20% dari anggaran kota, dan 20% dari anggaran propinsi. Belum lagi dari partisipasi masyarakat. Akumulasi dari seluruh anggaran tersebut membuat siapapun berminat menjadikan dunia pendidikan sebagai komoditas utama. Mengingat hal ini, komunikasi di antara stakeholder pendidikan mutlak diperlukan untuk menjamin prinsip akuntabilitas dalam pemanfaatan uang negara.
No comments:
Post a Comment