Kursi adalah lambang kekuasaan, kehormatan dan kemewahan. Tak jarang kita menilai "wibawa" seseorang dari kursinya saat bertamu ke rumahnya. Citra seni seseorang juga bisa ditaksir dari pilihan kursi di ruang tamu rumahnya. Kursi juga bisa membuat seorang ahli ibadah berubah 180o menjadi ahli maksiat. Namun, kursi juga membuat pencinta dunia berubah menjadi pencinta akhirat.
Kursi juga adalah perabot rumah tangga yang paling disukai para politisi. Oleh karena itu, tidak kalau mereka berebut mati-matian untuk mendapatkannya. Untuk memperebutkan sebuah kursi, seorang politisi rela mengeluarkan uang ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Gara-gara kursi, seorang politisi kampung dikenal publik nasional. Gara-gara kursi, seorang politisi dicaci, jatuh, terhina, dan dilupakan.
Kisah menarik tentang orang kaya dan terpandang yang gemetar mendapatkan kursi adalah kisah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, r.a'. Mantan Gubernur Madinah ini dikenal sebagai laki-laki perlente, harum, gagah, yang kalau berjalan, gamisnya yang mahal berkibar membuat orang-orang memandangnya penuh kekaguman. Namun, ketika dia menjadi Khalifah kaum Muslim, kehidupannya berbalik secara ekstrem.
Seluruh harta kekayaannya, yang dia dapat dari "perolehan sendiri" diserahkan kepada negara. Bahkan, emas dan perak istrinya, Fatimah, yang diperoleh dari hadiah atau hibah juga diserahkan ke baitul-mal. Bukan itu saja, Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz r.a. juga mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dikuasai oleh orang-orang kaya secara zalim kepada si empunya. Para pejabat negara diaudit kekayaannya. Pejabat negara yang mengalihkan kepemilikan tanah, rumah, atau barang berharga lainnya kepada anak, keluarga, atau kerabatnya dikenai sanksi hukum yang keras.
Tidak mengherankan kalau dalam masa pemerintahannya yang sangat singkat, lebih kurang 2,5 tahun, rakyat yang dipimpinnya hidup sejahtera. Keadilan ditegakkan setegak-tegaknya sehingga hukum dan penegak hukum berwibawa. Kemakmuran merata dan dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Pejabat publik adalah pelayan-pelayan rakyat yang nyaris 24 jam siap diganggu privasinya oleh rakyat yang mengganjinya. Sampai ada ilustrasi, "Pada masa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, r.a., domba yang berkumpul dengan sekawanan serigala merasa aman dan tidak terluka". Bahkan, konon, sulit sekali mencari orang yang mau menerima zakat. Satu-satunya keluarga yang paling berhak menerima zakat, tetapi mereka tidak mau, adalah keluarga 'Umar bin 'Abdul 'Aziz r.a. sendiri.
Ini tentu berbeda dengan masa sekarang ini, setidaknya di negara kita, Indonesia. Di sini, di negara yang kekayaan alamnya luar biasa, tetapi rakyatnya hidup miskin ini, penguasa adalah raja. Sekecil apa pun jabatan publik yang disandang seseorang, dia akan mendapatkan pelayanan dan kehormatan lebih daripada yang seharunya dia dapatkan. Lencana, emblem, atau pin di baju dinas atau di jasnya adalah benda-benda sakti, yang membuat pemakainya mendapatkan prioritas dalam urusan administrasi dan urusan-urusan lain.
'Umar bin 'Abdul 'Aziz r.a., sebagai pemimpin tertinggi, pejabat negara, memberi contoh bagaimana dia setiap hari mengaudit amal ibadahnya. Jadi, bukan harta kekayaannya, karena dia memang sudah tidak mempunyai apa-apa setelah menjadi orang nomor satu di negerinya. Dia begitu takut dengan amanah jabatan yang disandangnya. Dia takiut tidak bisa bertanggung jawab di hadapan Allah Azza wa Jalla di yaumil-mahsyar kelak. Dia sadar betul, rakyat butuh keteladanan, bukan perintah dan suruhan.
Yah, seandainya para pejabat negara kita juga mempunyai rasa takut kepada Allah, bisa dipastikan, Indonesia akan menjadi negara paling makmur di dunia. Kita tentu tidak akan bergantung pada bangsa dan negara lain. Kita tentu tidak akan berutang kepada lembaga keuangan mana pun karena akibatnya akan menjadi beban bagi anak-cucu kita kelak. Rakyat kita tentu tidak mengemis-ngemis pekerjaan ke luar negeri. Rakyat kita tentu tidak menjadi pembantu orang-orang kaya negara-negara tetangga.
Sumber:(Dwi Bagus M.B)
No comments:
Post a Comment